Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters

Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters - Hallo sahabat Serbaneka , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel bersaing , Artikel Bisnis , Artikel disrupt , Artikel disruptive , Artikel inovasi , Artikel Marketing , Artikel porter , Artikel strategi , Artikel sukses , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters
link : Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters

Baca juga


Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters

Tekken Image
Di tahun 86an, Anda ingat Nintendo memanjakan fans-nya dengan game fighting berjudul Pro Wrestling. Game yang sempat membuat saya tidak berhenti bermain, pagi sebelum sekolah, siang sepulang sekolah hingga malam hari. Sebuah pertandingan gulat yang menawarkan pilihan karakter-karakter keren seperti Starman dan The Amazon. Masing-masing tokoh memiliki spesialisasi “jurus” gulat yang unik. Pemain memiliki misi untuk menjadi jawara gulat terbaik dengan cara mengalahkan seluruh pegulat yang ada. Sejak era Urban Champion dan Pro Wrestling, genre game fighting mulai menemukan posisinya. Kemudian disusul sukses besar Capcom di tahun 1991 dengan merilis game sejenis, Street Fighter II.

Kehadiran Street Fighter II benar-benar merebut hati gamers, sekaligus pasar game-game fighting sebelumnya. Selain peningkatan grafis, Street Fighter II memberikan sensasi dan pengalaman yang sangat kaya, memadukan berbagai jenis beladiri dunia dalam satu game, seperti freestyle karate, gulat, kung fu, militer, hingga yoga. Para karakter juga didisain begitu universal dan cukup mewakili ras dan bangsa di dunia. Setelah era Street Fighter, game dengan pola demikian makin laris. Kita mengenal judul Tekken, Soul Calibur, Marvel vs Capcom, dan sebagainya. Game fighthing dengan peningkatan grafis 3D yang superkeren, makin berani mencampuradukkan apapun yang menarik untuk diperangtandingkan. Beruang, dinosaurus, cewek-cewek kawaii, robot, monster, malaikat dengan berbagai gaya bertarung dan senjata mesin, semua masuk disana. Segalanya menjadi lebih menarik. Model kompetisi bergeser, dari pertandingan dengan gaya tarung yang sama menjadi pertandingan dengan berbagai gaya bertarung dalam sebuah arena.

Analogi yang sama terjadi pada medan bisnis. Sebelum era 90an, persaingan masih berkonsentrasi pada cakupan industri, pemain bisnis dengan jenis usaha yang relatif sama atau usaha dengan produk substitusi yang mendekati. Bisnis otomotif akan berhadapan dengan pemain otomotif, bisnis mainan berhadapan dengan bisnis mainan, dan seterusnya. Begitu pula dengan perilaku pasar yang masih mengutamakan nilai sebuah barang dari aspek fungsional. Pergeseran era, dari era informasi menuju era konseptual membawa perubahan sikap dan pola pengambilan keputusan pasar yang cukup signifikan. Calon konsumen tidak lagi hanya terpatok pada aspek fungsional produk, mereka mempertimbangkan aspek emosional dan bahkan spiritual yang melekat pada produk atau brand.

Strategi fokus pada rival movement atau persaingan mungkin cocok untuk era industri, dimana penguasa resource dan modal akan menjadi pemenang. Namun era konseptual telah membuka model persaingan yang lebih luas. Pemenang persaingan bukan lagi pemilik modal besar, namun siapa saja dapat menjadi pemenang selama ia memiliki inovasi yang hebat. Manuver pendatang baru akan sangat sulit diprediksi. Mereka seperti Daud yang tiba-tiba mampu menjatuhkan Goliat. Kedua, era konspetual membuat batasan industri menjadi semakin kabur. Berbagai jenis usaha, produk, dan jasa dapat berkumpul memperebutkan pasar yang sama. Saat ini, pesawat terbang sudah menjadi pesaing bis antarkota, Cinema XXI bisa menjadi pesaing taman hiburan, cafĂ© menjadi pesaing layanan pijat refleksi, aplikasi edugame menjadi pesaing lembaga kursus, atau ekstrimnya, konser Lady Gaga sudah menjadi pesaing even keagamaan. Ya, inilah fenomena era of distraction atau era keambiguan, dimana istilah dan batasan industri sudah tidak jelas. Medan pertempuran bisnis bukan lagi antarbisnis sejenis dalam satu industri, namun sudah bergeser menjadi sebuah arena, dimana jenis bisnis apapun dapat saling bertarung memperebutkan pasar yang sama. Bisa dipastikan bahwa strategi fokus pada persaingan akan membuat pebisnis makin depresi. Tanpa kesadaran dan kemampuan untuk move on, maka sebuah bisnis akan menjadi agresif, sembrono, berisiko untuk jatuh.

Kesesakan dan ketatnya persaingan, baik antarperusahaan maupun antarmarketer dalam arena bisnis memicu agresifitas. Sebagai konsekuensinya, peran marketing berisiko mengalami proses desaturasi, pemudaran value. Pasar sudah (mulai) jenuh dengan pesan-pesan iklan yang memaksa, baik dalam bentuk spam atau tindakan agresif lain. Jika di era lampau marketer lebih banyak berbicara, saat ini marketer perlu lebih banyak mendengar, mencari tahu value konsumen. Jika masa lampau medan persaingan bisnis masih dikuasai oleh penguasa modal dan resource, saat ini penguasa bisnis adalah siapa saja yang memiliki kemampuan inovasi value yang tinggi. Marketing bukanlah lagi kegiatan mekanistik, namun tindakan humanis berbasis moral dan value. Ketika tidak ada lagi value yang dapat ditawarkan kepada konsumen, dengan mudah konsumen akan beralih hati.  

Hal ini memicu pentingnya transformasi strategi bisnis yang bergerak mulai dari fokus pada rival movement, kemudian product dan market development, menuju pada customer value development. Era informasi dan konseptual menciptakan kondisi red ocean atau abundance hingga startuper atau inovator hampir tidak memiliki pasar baru karena semua industri sudah padat dengan pesaing. Satu-satunya cara untuk keluar dari kesesakan tersebut adalah dengan merefokus pandangan perusahaan dari rival movement kepada penciptaan customer value dan menciptakan pasar baru, bukan menguasai pasar yang sudah ada, atau yang sedang kekinian dengan istilah disrupt innovation.


Semoga bermanfaat!




Demikianlah Artikel Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters

Sekianlah artikel Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Desaturasi Strategi Bersaing, Analogi Sederhana Ketika Pro Wrestling Sudah Tidak "Sekeren" Street Fighters dengan alamat link http://1001serbaneka.blogspot.com/2016/05/desaturasi-strategi-bersaing-analogi.html