Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda"

Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda" - Hallo sahabat Serbaneka , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda" , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel kepemimpinan , Artikel leadership , Artikel managerial skill , Artikel manajemen diri , Artikel pengembangan diri , Artikel sukses , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda"
link : Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda"

Baca juga


Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda"

"Tragedi terbesar Negeri Kiskenda bukan terjadi akibat ketidakmampuan raja memimpin rakyat, tapi ketidakmampuannya memimpin diri sendiri."
Senja itu, di sebuah hutan, keheningan terpantul dari rupa-rupa makhluk tanpa dosa, gemercik air menyejukkan jiwa yang dahaga atas belaian Sang Kasih, hembusan angin dan gemulai tari dedaunan bagai malaikat Suwargaloka yang sedang bersuka cita. Namun dalam sekejab, suara gaduh bergerak begitu cepat membelah kenikmatan sabat itu. Sekilas, 5 sosok makhluk dari 2 ras yang berbeda beekejar-kejaran, Wanara dan Sura. Mereka, Subali (raja Kiskenda, raja kaum Wanara) dan Sugriwa (adik subali) nampaknya menghadapi serangan sekelompok siluman Sura, separuh kerbau, Maesasura, Lembusura, dan Jatasura. Pertarungan mahasakti berkecamuk mengusik kedamaian flora-fauna. Serangan saling balas menyambarkan kilatan sinar sakti sekejab merusak ruang suci semesta. 

Pertarungan sengit nampak berimbang. Berpikir cepat, spontan Subali memancing para siluman untuk masuk ke dalam sebuah goa untuk bertarung habis-habisan di sana. Subali memiliki kesaktian Pancasona yang membuatnya sulit ditembus senjata dan serangan apapun. Sambil melesat terbang, ia berpesan pada Sugriwa,"Jika nanti keluar darah merah, berarti aku kalah (karena darah siluman itu hijau warnanya). Saat itu, kau segera tutup goa dengan batu besar. Lebih baik kami mati bersama di dalam goa." Beberapa jam terdengar terus besutan senjata dan suara pukulan dengan tenaga dalam hingga akhirnya sampai pada titik sunyi. Tidak ada suara apapun. Sugriwa mulai cemas, jangan-jangan... Perlahan cairan berwarna merah dan putih mengalir keluar merembas diantara bebatuan. Melihat ini, Sugriwa sigap mengambil batu besar dan menutup goa seperti perintah kakanda Subali. Sekali lagi ia mencermati apakah benar itu darah Wanara dan memang benar.

Sugriwa sedih, menangis. Ia pergi menyampaikan kabar duka ke kerajaan Wanara. Sungguh nasib, semua sudah terjadi. Dewi Tara, permaisuri Subali yang cantik rupa dan hati, langsung jatuh tersungkur meratapi kepergian suami yang dicintainya. Tak seorangpun tahu, dari dalam goa, terdengar teriakan Subali, "Sugriwa adikku, kau begitu tega menjebakku. Kurang ajar! Pengkhianat laknat! Serendah itu ternyata ambisimu selama ini." Subali belum seda, hanya luka tusukan tanduk Maesasura yang membuatnya berdarah-darah. Cairan putih yang mengalir adalah cairan dari otak para siluman yang kepalanya dipecahkan oleh Subali. Ia terlajur terperangkap dan Sugriwa terlanjur diangkat menjadi raja pengganti. Dalam hati, Subali terus mengutuki saudaranya, ia pikir Sugriwa sengaja bermain politik kotor, menggingkan tahta dengan cara kotor. Mengumpulkan tenaga dalam beberapa hari, akhirnya Subali berhasil memecah batu raksasa penutup goa dengan satu jari. Ia bangkit menuntut balas dan pertarungan saudara dimulai. 


Betapa kaget Sugriwa melihat Subali kembali dengan penuh luka namun tetap tegar. Pelukan Sugriwa dihempaskan begitu saja oleh Subali yang kalap karena kemarahan. Subali langsung memukul habis Sugriwa sampai hampir mati. Hujaman ribuan pukulan Subali diringi fitnah dan tuduhan murahan yang sangat menyakitkan hati Sugriwa. Untung, Sugriwa masih bisa kabur meloloskan diri bersama beberapa pasukan, termasuk Hanoman. Dalam hatinya, Sugriwa tidak merasa salah. Ia hanya korban arogansi dan gengsi Subali. Ia merasa ditelanjangi dengan fitnahan keji Subali di depan rakyat. Serangan mendadak telak ini memicu amarah dan kebencian Sugriwa kepada saudaranya. Berbulan-bulan ia mencari akal membalas nista Subali hingga ia dipertemukan dengan Rama dan Laksmana. Pertemuan ini menjadi harapan besar baik bagi Sugriwa yang ingin memberi pelajaran saudaranya, juga bagi Rama yang sedang mencari dukungan untuk melakukan serangan ke Alengka demi menyelamatkan istrinya, Sinta. Mereka beraliansi dan singkat cerita Subali berhasil dikalahkan dan tewas ditangan Rama. 

Apa yang dapat kita pelajari dari Epos menakjubkan ini? Saya mencatat 3 moral penting yang saya pandang dari perspektif kepemimpinan dan penyelesaian masalah (leadership & problem solving skill), baik itu kepemimpinan bisnis, maupun bentuk organisasi lain. Semoga 3 pesan moral berikut bisa kita jadikan bahan renungan untuk berpikir lebih dewasa tentang kepemimpinan, khususnya kepemimpinan diri.

1. Tidak ada yang salah, yang ada hanya saling merasa paling benar
Antara Subali dan Sugriwa, keduanya pada dasarnya tidak bersalah. Yang terjadi hanya misunderstanding dan miscommunication. Subali merasa dikhianati, Sugriwa merasa dizolimi di depan publik. Akhirnya keduanya saling menyalahkan, mencari dalih untuk saling menjatuhkan. Berbicara kebenaran dalam tataran logika manusia sangat relatif hasilnya. Dengan otaknya yang hebat, setiap orang mampu membangun pembenaran untuk mencapai tujuannya. Kericuhan kedua Wanara kuat ini akhirnya memecah Kiskenda menjadi 2 kubu yang dipimpin oleh Subali dan Sugriwa dan perang dimulai. Pastinya, dalam perang apapun, rakyat hanya menjadi korban. Bagaimana dengan fenomena di sekitar Anda? 

2. Siapa musuh kita sesungguhnya
Mari kita selami semiotik kisah ini lebih dalam. Sebenarnya, ada segerombol sosok yang menjadi aktor perpecahan dan Subali dan Sugriwa. Bukan para siluman yang menjadi musuh mereka, bukan pula kemiskinan, keadaan buruk, kursi raja, atau permaisuri cantik. Mereka adalah hawa nafsu, ambisi, arogansi, amarah, kecurigaan, dan kebencian. Sosok inilah yang tengah asyik bermain memainkan kehidupan manusia. Mereka mampu memainkan saudara sebagai tokoh antagonis. Segala aspek keidupan selalu terdiri dari 2 kutub, hitam dan putih. Jika kita mengabdi pada kebencian, maka kita kehilangan kasih. Jika kita mengabdi pada kasih, kita akan terjauhkan dari kebencian. Seperti konon pernah dikatakan Hanoman, "Lebih baik kera berhati manusia, daripada manusia berhati kera." Bagaimana dengan fenomena di sekitar Anda?

3. Tidak ada win-win solution tanpa kerendahan dan kebesaran hati
Adakah win-win solution itu? Solusi utopia ini tidak akan pernah terjadi tanpa adanya kerendahan dan kebesaran hati. Kebesaran hati mengakui orang lain lebih baik, lebih sukses dan kerendahan hati menghargai perbedaan pendapat. Tidak ada kemerdekaan hati yang dibangun dari arogansi. Tanpa sikap hati yang baik, yang terjadi hanyalah perasaan menjadi korban dan perasaan diperlakukan tidak adil, pemberontakan, permusuhan yang menghalalkan segala cara, termasuk cara yang tidak hahal. Departemen Pengadilan Ilahi tetap buka walaupun hukum manusia tidak pernah adil. Setiap orang dianugerasi kesempatan untuk menang/ sukses, namun tidak semua orang mau memperbesar kapasitas diri untuk sukses dan berlari menjemput sukses. Mereka memilih sibuk mencari kesalahan pada orang lain dan Tuhan seperti yang dilakukan Subali. Ini adalah masalah kepemimpinan diri. Bagaimana dengan fenomena di sekitar Anda?


Semoga bermanfaat!


Demikianlah Artikel Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda"

Sekianlah artikel Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda" kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Renungan Kepemimpinan: Tragedi "Kiskenda" dengan alamat link http://1001serbaneka.blogspot.com/2014/06/renungan-kepemimpinan-tragedi.html